CARA MENJADI AUDITOR YANG BAIK DAN BERKUALITAS |
Auditor yaitu seseorang yang mempunyai kualifikasi tertentu dalam melakukan audit atas laporan keuangan dan acara suatu perusahaan atau organisasi. Saat ini nyaris semua sektor harus dilaksanakan audit oleh auditor. Hasil Audit yang baik tentunya dilakukan oleh auditor yang baik dan berkualitas. Lalu bagaimana cara dan ciri menjadi auditor yang baik dan bermutu. Berikut beberapa cara menjadi auditor yang bagus dan berkualitas
Cara pertama menjadi auditor yang bagus dan berkualitas adalah seorang Auditor mesti memiliki Etika profesi. Setidaknya ada enam prinsip akhlak seorang auditor adalah:
· Rasa tanggung jawab (responsibility) : mereka harus peka serta mempunyai pertimbangan moral atas seluruh acara yang mereka lakukan.
· Kepentingan publik, auditor mesti mendapatkan kewajiban untuk bertindak sedemikian rupa agar mampu melayani kepentingan orang banyak, menghargai keyakinan publik, serta menunjukan komitmennya pada profesionalisme.
· Integritas, adalah menjaga dan memperluas dogma publik.
· Obyektivitas dan Indepensi, auditor mesti mempertahankan obyektivitas dan terbebas dari konflik antar kepentingan dan harus berada dalam posisi yang independen.
· Due care, seorang auditor harus selalu memperhatikan patokan tekhnik dan akhlak profesi dengan mengembangkan kompetensi dan kualitas jasa, serta melaksanakan tanggung jawab dengan kemampuan terbaiknya.
· Lingkup dan sifat jasa, auditor yang berpraktek bagi publik mesti memperhatikan prinsip-prinsip pada kode etik profesi dalam menentukan lingkup dan sifat jasa yang disediakannya.
· Audit yang bermutu sungguh penting untuk menjamin bahwa profesi akuntan memenuhi tanggung jawabnya terhadap investor, penduduk lazim dan pemerintah serta pihak-pihak lain yang mengandalkan dapat dipercaya laporan keuangan yang telah diaudit, dengan menegakkan adat yang tinggi.
Cara kedua menjadi auditor yang bagus dan berkualitas adalah seorang Auditor mesti mempunyai Kompetensi. Menurut Kamus Kompetensi LOMA, kompetensi didefinisikan sebagai aspek-faktor langsung dari seorang pekerja yang memungkinkan ia untuk meraih kinerja superior. Aspek-faktor eksklusif ini meliputi sifat, motif-motif, nilai, perilaku, wawasan dan ketrampilan dimana kompetensi akan mengarahkan tingkah laris, sedangkan tingkah laku akan menciptakan kinerja. Kompetensi juga ialah wawasan, ketrampilan, dan kesanggupan yang berhubungan dengan pekerjaan, serta kesanggupan yang diperlukan untuk pekerjaan-pekerjaan non-rutin. Definisi kompetensi dalam bidang auditing pun sering diukur dengan pengalaman.
Ashton (1991) memberikan bahwa dalam psikologi, pengetahuan spesifik dan usang pengalaman melakukan pekerjaan selaku hal yang penting untuk mengembangkan kompetensi. Ashton juga menerangkan bahwa ukuran kompetensi tidak cukup cuma pengalaman namun diperlukan pertimbangan-usulanlain dalam pembuatan keputusan yang bagus.
Pendapat ini disokong oleh Schmidt et al. (1988) yang memberikan bukti empiris bahwa terdapat relasi antara pengalaman bekerja dengan kinerja dimoderasi dengan lama pengalaman dan kompleksitas peran. Selain itu, wawasan mengenai spesifik tugas mampu meningkatkan kinerja auditor berpengalaman, walaupun hanya dalam penetapan risiko analitis. Hal ini menawarkan bahwa pendapat auditor yang bagus akan tergantung pada kompetensi dan mekanisme audit yang dilakukan oleh auditor.
Kualitas audit dapat diraih bila auditor mempunyai kompetensi yang bagus. Kompetensi tersebut terdiri dari dua dimensi ialah pengalaman dan wawasan. Auditor selaku ujung tombak pelaksanaan tugas audit memang harus senantiasa meningkatkan wawasan yang telah dimiliki supaya penerapan pengetahuan mampu maksimal dalam praktiknya. Penerapan pengetahuan yang optimal pastinya akan sejalan dengan semakin bertambahnya pengalaman yang dimiliki.
Hasil observasi yang dilaksanakan oleh Murtanto (1998) menunjukkan bahwa komponen kompetensi untuk auditor di Indonesia terdiri atas:
a. Komponen pengetahuan, yang ialah unsur penting dalam suatu kompetensi. Komponen ini meliputi wawasan kepada fakta-fakta, prosedur-mekanisme dan pengalaman. Kanfer dan Ackerman (1989) juga menyampaikan bahwa pengalaman akan memperlihatkan hasil dalam menghimpun dan menunjukkan kemajuan bagi wawasan.
b. Ciri-ciri psikologi, seperti kesanggupan berkomunikasi, kreativitas, kemampuan bekerja sama dengan orang lain. Gibbin’s dan Larocque’s (1990) juga menawarkan bahwa keyakinan, komunikasi, dan kemampuan untuk bekerja sama ialah penting bagi kompetensi audit.
Cara ketiga menjadi auditor yang baik dan berkualitas adalah seorang Auditor mesti mempunyai Independensi. Independensi memiliki arti sikap mental yang bebas dari dampak, tidak dikendalikan oleh orang lain, tidak tergantung pada orang lain. Independensi mampu juga diartikan adanya kejujuran dalam diri auditor dalam memikirkan fakta dan adanya usulanyang obyektif tidak memihak dalam diri auditor dalam merumuskan dan menyatakan pendapatnya.
Definisi independensi dalam The CPA Handbook menurut E.B. Wilcox adalah merupakan suatu persyaratan auditing yang penting alasannya adalah opini akuntan independen bertujuan untuk menambah dapat dipercaya pembukuan keuangan yang disajikan oleh manajemen. Jika akuntan tersebut tidak independen kepada kliennya, maka opininya tidak akan memberikan pelengkap apapun.
Kode Etik Akuntan tahun 1994 menyebutkan bahwa independensi yaitu sikap yang diharapkan dari seorang akuntan untuk tidak mempunyai kepentingan langsung dalam pelaksanaan tugasnya, yang bertentangan dengan prinsip integritas dan obyektivitas.
KAP yang memperlihatkan jasa konsultasi administrasi terhadap klien yang diaudit dapat memajukan risiko rusaknya independensi yang lebih besar dibandingkan yang tidak memberikan jasa tersebut. Tingkat kompetisi antar KAP juga mampu meningkatkan risiko rusaknya independensi akuntan. KAP yang lebih kecil memiliki risiko kehilangan independensi yang lebih besar dibandingkan KAP yang lebih besar. Sedangkan lama ikatan relasi dengan klien tertentu tidak mensugesti secara signifikan kepada independensi akuntan.
KAP yang memperlihatkan jasa konsultasi administrasi terhadap klien yang diaudit dapat memajukan risiko rusaknya independensi yang lebih besar dibandingkan yang tidak memberikan jasa tersebut. Tingkat kompetisi antar KAP juga mampu meningkatkan risiko rusaknya independensi akuntan. KAP yang lebih kecil memiliki risiko kehilangan independensi yang lebih besar dibandingkan KAP yang lebih besar. Sedangkan lama ikatan relasi dengan klien tertentu tidak mensugesti secara signifikan kepada independensi akuntan.
Kredibilitas auditor pasti sangat tergantung dari doktrin penduduk yang memakai jasa mereka. Auditor yang dianggap sudah melakukan kesalahan maka akan menimbulkan mereduksinya iktikad klien. Namun walaupun demikian klien tetap ialah pihak yang mempunyai efek besar kepada auditor. Hal tersebut dilihat dari kondisi saat ini dimana telah terdapat berbagai regulasi yang mengontrol perihal kerjasama klien dengan auditor.
Sesuai dengan patokan biasa bahwa auditor disyaratkan memiliki pengalaman kerja yang cukup dalam profesi yang ditekuninya, serta dituntut untuk memenuhi kualifikasi teknis dan berpengalaman dalam bidang yang digeluti kliennya (Arens dan Loebbecke, 1997). Pengalaman juga akan menunjukkan dampak pada setiap keputusan yang diambil dalam pelaksanaan audit sehingga dibutuhkan setiap keputusan yang diambil yakni merupakan keputusan yang tepat.
Hal tersebut mengindikasikan bahwa makin usang era kerja yang dimiliki auditor maka auditor akan kian baik pula mutu audit yang dihasilkan.
Auditor mesti memiliki kesanggupan dalam mengumpulkan setiap gosip yang dibutuhkan dalam pengambilan keputusan audit dimana hal tersebut mesti disokong dengan perilaku independen. Tidak dapat disangkal bahwa sikap independen merupakan hal yang menempel pada diri auditor, sehingga independen seperti telah menjadi syarat mutlak yang harus dimiliki. Tidak mudah mempertahankan tingkat independensi agar tetap sesuai dengan jalur yang sebaiknya. Kerjasama dengan klien yang terlalu usang 11ias mengakibatkan kerawanan atas independensi yang dimiliki auditor. Belum lagi berbagai akomodasi yang ditawarkan klien selama penugasan audit untuk auditor. Bukan mustahil auditor menjadi ”mudah dikendalikan” klien alasannya auditor berada dalam posisi yang dilematis.
EmoticonEmoticon