Minggu, 21 Maret 2021

Deskripsi Dan Penamaan Batuan Gunungapi

Secara umum, untuk mendeskripsi dan menunjukkan nama batuan geologist telah membekali diri dengan ilmu yang mempelajari batuan, yaitu Petrologi dan Petrografi yang disokong antara lain oleh Mineralogi dan Geokimia. Sedangkan untuk mendeskripsi dan menamakan batuan gunungapi penguasaan ilmu wawasan itu perlu ditambah dengan dasar-dasar ilmu gunungapi atau Vulkanologi.

Dalam tahapan pembelajaran selama ini, Petrologi lebih diartikan sebagai ilmu yang mempelajari batuan secara mata telanjang (megaskopik) dan hanya dibantu dengan perlengkapan sederhana seperti beling pembesar (loupe), pisau lipat, palu geologi dan cairan HCl 0,1 N. Sedangkan Petrografi lebih ditekankan pada pembelajaran batuan di bawah mikroskop (secara mikroskopik). Namun dalam arti luas Petrologi yaitu ilmu yang mempelajari batuan, dimulai dari pengamatan secara mata telanjang, investigasi di bawah mikroskop, analisis geokimia dan bahkan hingga dengan radioisotop.

Penggunaan kata 'batuan' diartikan secara luas, adalah materi bentukan alam (gunungapi), mulai dari materi lepas (loose material) hingga dengan yang telah membatu (lithified material). Kaprikornus dalam hal ini tidak dipersoalkan perbedaan antara bahan berupa endapan dan yang telah menjadi batuan. Lebih lanjut batuan gunungapi yang dibahas juga terbatas yang segar, dalam arti tidak dalam kondisi sudah lapuk, teroksidasi lanjut, termalihkan (termetamorfose) ataupun terubah (teralterasi) secara hidrotermal. Untuk batuan gunungapi yang terubah secara hidrotermal akan aku bahas peluang lainnya.

Dasar Penamaan Batuan Gunungapi

Sebelum memberi nama kepada suatu batuan maka pada tahap pertama dan utama mesti dilakukan deskripsi atau pemerian. Nama batuan yang cuma didasarkan pada deskripsi terhadap batuan/obyek sebagaimana adanya (objective descriptions) disebut penamaan secara deskripsi (descriptive names). Jika data deskripsi tersebut dipakai untuk menganalisis asal-seruan kejadian batuan (genesa) dan hasil analisis itu digunakan sebagai dasar untuk menunjukkan nama batuan maka hal ini disebut penamaan secara genesa (genetic names). Apabila penamaan secara deskripsi disatukan dengan penamaan secara genesa maka hal itu disebut penamaan secara kombinasi deskripsi dan genesa.

Dalam melakukan deskripsi dan penamaan batuan juga mengamati metoda pendekatan yang secara garis besar dibagi menjadi tiga, ialah pendekatan secara mata telanjang (megaskopik), pendekatan secara mikroskopik dan pendekatan secara kimia. Pendekatan secara mata telanjang dikerjakan di lapangan atau kepada pola setangan (hand specimen). Baik deskripsi maupun penamaan secara megaskopik masih bersifat pendahuluan yang ini perlu dimantapkan dengan observasi secara mikroskopik dan atau analisis kimia.

Pada umumnya, deskripsi contoh setangan hanya mampu memberi nama secara deskripsi, namun deskripsi berdasar kenampakan lapangan sungguh mendukung untuk memperlihatkan nama secara genesa. Selain warna dan komposisi mineralogi, deskripsi di bawah mikroskop juga memperhatikan kenampakan tekstur dan struktur yang ada. Pendekatan ini memiliki kekurangan bila mineral pembentuknya tidak berupa kristal, tetapi sebagian besar tersusun oleh gelas gunungapi, sehingga penamaan berdasar komposisi mineralogi kristal tidak cukup mewakili untuk seluruh batuan yang dideskripsi.

Guna mengantisipasi kekurangan pada penamaan secara mikroskopik tersebut dibutuhkan pendekatan ketiga, ialah berdasar analisis kimia. Dalam hal ini tekanannya pada komposisi kimia yang bersifat lebih kuantitatif dibanding metoda pendekatan pertama dan kedua. Untuk kelengkapan observasi geologi kebanyakan dan deskripsi serta penamaan batuan gunungapi secara khusus ketiga pendekatan tersebut semestinya dilaksanakan secara tolong-menolong.

Dalam penamaan batuan secara deskripsi, sebagai parameter biasa deskripsi adalah warna, tekstur, struktur dan komposisi. Tekstur mencakup antara lain bentuk dan ukuran butir/kristal, kekerabatan antar butir/kristal, pemilahan dll. Dalam kaitannya dengan batuan gunungapi, struktur yang terbentuk lebih merefleksikan proses pendinginan secara cepat dari magma menjadi batuan beku dan proses pengendapan.

Komposisi mampu secara mineralogi atau kimia. Secara mineralogi, komposisi batuan dapat tersusun oleh mineral/kristal, fosil, fragmen batuan dan matriks atau era dasar. Untuk memperlihatkan nama batuan secara deskripsi mampu cuma memakai salah satu parameter deskripsi atau variasi di antara beberapa parameter. Biasanya, hal ini diseleksi yang paling gampang dikenali. Penamaan batuan cuma berdasar satu parameter (komposisi) contohnya, batuan yang secara mineralogi cuma tersusun oleh kalsit, atau secara kimia hanya berkomposisi kalsium karbonat (CaCO3) dinamakan batugamping.

Penamaan batuan berdasar pada beberapa parameter misalnya, batuan gunungapi berwarna bubuk-bubuk, bertekstur hipokristalin porfiri, berstruktur berlubang, serta berkomposisi fenokris felspar-plagioklas, piroksen dan masadasar gelas gunungapi dinamakan andesit. Nama pelengkap mampu disebutkan bila ada parameter yang paling menonjol, misalnya yang menonjol fenokris piroksen, sebarannya merata dan kelimpahannya mencapai lebih dari 10 % maka batuan tersebut mampu dinamakan andesit piroksen. Apabila yang menonjol ialah kenampakan tekstur porfiri mampu dinamakan andesit porfiri. Jika yang mencolokkenampakan struktur, contohnya struktur masif, maka dinamakan andesit masif.

Dalam kaitannya dengan batuan teralterasi, McPhie dkk (1993) menunjukkan nama batuan menurut grain size, components, lithofacies term & alteration. Grain size atau ukuran butir ialah bagian dari tekstur, components seimbang dengan komposisi, lithofacies term dipakai untuk struktur dan alteration yakni kenampakan ubahan yang terjadi di dalam batuan itu. Sebagai teladan crystal-rich chloritic bedded sandstone.

Penamaan batuan secara genesa mempunyai parameter analisis kepada sumber/ asal batuan, proses pembentukan batuan, umur batuan dan lingkungan pengendapan batuan. Untuk batuan gunungapi periode kini atau setidak-tidaknya berumur Kuarter, problem sumber sudah sungguh terang sehingga biasanya tidak dipersoalkan lagi, misalnya batuan gunungapi di kawasan Kaliurang dan Pakem, Kabupaten Sleman bersumber dari kawah G. Merapi di sebelah utaranya.

Namun, untuk batuan gunungapi yang lebih renta, contohnya berumur Tersier di Pegunungan Selatan, Kabupaten Gunungkidul, masalah sumber masih memerlukan observasi secara cermat. Proses pembentukan batuan gunungapi, atau secara biasa proses volkanisme, mampu diperhatikan pada gunungapi aktif masa kini atau yang pernah meletus dalam sejarah.

Berdasarkan data geofisika dan geokimia kita dapat mengamati pergerakan magma dari dalam bumi ke permukaan secara real time. Secara mata kepala sendiri (visual observation) kita dapat melihat bentuk dan acara magma pada saat keluar ke permukaan bumi yang dikenal sebagai erupsi gunungapi. Demikian pula sesudah bahan padat hasil erupsi gunungapi tersebut membeku atau mengendap, kita mampu mendekati dan mendeskripsi secara rinci.

Dengan demikian dari aktivitas gunungapi aktif kurun kini pertama-tama kita mampu mengetahui genesanya yang mencakup sumber, proses, waktu insiden, lingkungan asal dan lingkungan pengendapan, kemudian melaksanakan deskripsi terhadap batuan yang terbentuk secara rinci. Data deskripsi secara rinci itulah yang dipakai sebagai dasar untuk menganalisis batuan gunungapi yang lebih tua dalam rangka memberi nama batuan secara genesa.

Metoda ini bergotong-royong ialah penerapan salah satu prinsip geologi, ialah the present is the key to the past. Berhubung hampir selalu mampu mengamati proses erupsi gunungapi, proses pembekuan dan proses pengendapan bahan erupsi, serta wawasan itu sungguh berguna bagi kepentingan sosial penduduk maka dalam menamakan endapan/ batuan gunungapi para jago gunungapi lebih menitik-beratkan pada penamaan secara genesa ketimbang penamaan secara deskripsi. Sebagai contoh nama-nama anutan lava, awan panas dan lahar.

Penentuan umur batuan dapat didasarkan pada pendekatan secara stratigrafi, paleontologi (jikalau mengandung fosil), dan atau metoda radiometri. Pendekatan secara stratigrafi di lapangan bersifat relatif, misalnya lebih muda dari batuan yang di bawahnya dan lebih renta dari batuan yang di atasnya. Pendekatan paleontologi selain bersifat relatif juga mempunyai kisaran waktu yang panjang untuk ukuran acara volkanisme.

Penentuan umur secara radiometri mampu mendapatkan nilai umur dalam bentuk angka sekalipun ketepatannya masih memerlukan improvisasi secara berkelanjutan. Analisis umur dengan pendekatan radiometri antara lain dengan metoda Kalium-Argon (40K–40Ar), Argon-Argon (40Ar/39Ar), Jejak Belah, Carbon-14, Uranium-Thorium (U-Th) dan Uranium-Lead (U-Pb).

Sejauh ini penamaan batuan gunungapi berdasar umur dan lingkungan pengendapan masih bersifat biasa , contohnya batuan gunungapi Paleogen dan batuan gunungapi darat, sehingga analisis genesa lebih dititik-beratkan pada proses dan lalu sumber. Dalam penamaan batuan gunungapi secara genesa dimana kejadiannya tidak tercatat dalam sejarah atau yang berumur lebih bau tanah maka analisis proses dan sumber merupakan hal yang paling tidak gampang.

Penamaan batuan gunungapi secara variasi deskripsi dan genesa bukan duduk perkara yang berarti kalau sudah dimengerti nama secara deskripsi dan genesa. Sebagai pola, jikalau secara deskripsi berjulukan andesit, secara genesa bersumber dari Gunungapi Merapi, proses dan bentuk erupsinya berbentukkubah lava, maka nama kombinasinya dapat disebut Kubah lava andesit G. Merapi.

Secara geologi dan pada batuan gunungapi renta, karena sumbernya belum dikenali secara pasti maka penamaannya mampu menggunakan nama geografi atau daerah dimana batuan itu tersingkap sangat baik, misalnya pedoman lava bantal basal piroksen Watuadeg. Ini mengandung arti proses erupsinya secara mengalir (berupa fatwa lava), berbentuk bantal (sekaligus mencerminkan kejadiannya di dalam air), berkomposisi basal piroksen dan tersingkap sangat bagus di dusun Watuadeg.

Pengertian Gunungapi dan Batuan Gunungapi

Gunungapi (volcano, vulkano, vulkaan) adalah tempat atau lubang dimana batuan pijar dan atau gas, biasanya kedua-duanya, keluar ke permukaan bumi, dan bahan padat yang terakumulasi di sekeliling lubang membentuk bukit atau gunung (volcano is both the place or opening from which molten rock or gas, and generally both, issues from the earth’s interior onto the surface, and the hill or mountain built up around the opening by accumulation of the rock material, Macdonald, 1972). Batuan pijar (dan gas) disini adalah magma, sedangkan lubang keluarnya magma itu disebut kawah (?? 2 km) atau kaldera gunungapi (? > 2 km).

Dengan demikian titik berat pengertian gunungapi yaitu pada adanya lubang dan keluarnya magma, sedangkan bentuk bentang alam berupa bukit atau gunung bukan merupakan kewajiban, alasannya banyak vulkaan yang tidak membentuk gunung. Namun alasannya di Indonesia nyaris seluruh vulkaan berbentuk gunung maka (secara salah kaprah) orang menyebutnya sebagai gunungapi (gunung api) atau gunung berapi.

Perihal yang sering menjadi perdebatan adalah jika lubang itu cuma mengeluarkan gas, apa juga disebut gunungapi. Berdasarkan definisi tersebut di atas (ada kata ‘atau’ di antara batuan pijar dan gas) maka jawabannya yaitu iya, asal gas itu sungguh-sungguh berasal dari magma (magmatic gases) di dalam bumi. Untuk menerangkan bahwa gas itu berasal dari magma atau bukan (non magmatic gases) memerlukan penelitian yang tidak sederhana.

Batuan gunungapi adalah batuan yang terbentuk sebagai hasil dari acara gunungapi, baik langsung maupun tidak pribadi. Aktivitas gunungapi diartikan selaku proses erupsi atau keluarnya magma dari dalam bumi ke permukaan, melalui lubang kawah atau kaldera dalam aneka macam bentuk dan kegiatannya.

Pengertian pribadi disini dimaksudkan bahwa materi erupsi gunungapi itu sehabis mendingin/ mengendap kemudian membatu di daerah itu juga (in situ). Sedangkan pemahaman tidak langsung memberikan bahwa endapan/batuan gunungapi tersebut telah mengalami perombakan atau deformasi, baik oleh acara volkanisme yang lebih gres, proses-proses sedimentasi kembali, maupun acara tektonika.

Berdasarkan kegiatan gunungapi itu dapat difahami bahwa:
  1. Pada perjalanannya ke permukaan bumi magma dapat betul-betul keluar, atau sebagian keluar dan sebagian membeku di akrab permukaan atau semuanya membeku di dekat permukaan.
  2. Pada perjalanannya ke permukaan, magma membeku sangat cepat sehingga sebagian atau bahkan semuanya membentuk gelas gunungapi (volcanic glass). Pembekuan sungguh cepat itu terjadi alasannya adalah magma yang bertemperatur antara 900 – 1200oC secara cepat keluar ke permukaan bumi yang memiliki temperatur di bawah 30oC. Bahkan di dasar maritim dalam atau daerah tertutup es temperatur mampu di bawah 0oC. Gelas gunungapi ini sebetulnya ialah mineral yang tidak berbentuk kristal (amorf), berasal dari magma, dan merupakan bahan silikat. Pengertian materi silikat ini yakni mineral yang mengandung bagian Silika atau oksida SiO2. Di dalam bahan silikat masih ada bagian atau oksida lain, mirip Aluminium (Al2O3), Magnesium (MgO), besi (FeO dan Fe2O3), Calcium (CaO), Titanium (TiO2), Mangan (MnO), Natrium (Na2O) dan Kalium (K2O). Hal ini agak sedikit berlawanan dengan pengertian mineral silika yang hanya tersusun oleh komponen Si atau oksida SiO2.
  3. Mineral yang mengkristal kebanyakan memiliki tekstur pendinginan sangat cepat (quenching textures) sebab pertumbuhannya sangat terusik oleh proses pendinginan. Hal ini dicirikan antara lain oleh struktur zoning, fibrous structures, skeletal crystals, embayment, corrosion, banded microcystalline, rekahan pada kristal dan di dalamnya mengandung inklusi gelas gunungapi.
  4. Di bab luar tubuh batuan gunungapi umumnya terdapat lubang bekas keluarnya gas gunungapi (vesicular structures) dan perekahan yang terjadi selama proses pergerakan ke permukaan dan pendinginan sangat cepat (super cooling fractures).
  5. Magma yang membeku di dekat permukaan (high level intrusives) atau sudah keluar ke permukaan secara meleleh (effusive eruptions) membentuk lava koheren yang pada akhirnya menjadi batuan beku masif. Sedangkan magma yang keluar ke permukaan secara meletus (explosive eruptions) menghasilkan batuan beku terfragmentasi yang disebut pyroclasts, berasal dari kara pyro artinya api dan clast berarti butiran, fragmen atau kepingan. Jadi pyroclast adalah butiran batuan pijar yang dilontarkan keluar (ejected material) dari lubang kawah pada saat terjadi letusan gunungapi. Pyroclasts atau istilah lain ejecta ini mempunyai berbagai ukuran, mulai dari berbutir halus (abu/debu gunungapi, ?? 2 mm), berbutir sedang (lapili, ? : 2 – 64 mm) sampai dengan berbutir kasar (blok/bom gunungapi, ? > 64 mm). Batuan itu secara khusus disebut batuan piroklastika dan secara umum membentuk batuan gunungapi bertekstur klastika (volcaniclastic rocks).
Dengan demikian secara deskripsi batuan gunungapi mempunyai ciri-ciri khas di dalam tekstur dan komposisi, selaku berikut:
  • Tekstur hipokristalin porfir, vitrofir atau gelas, baik di dalam lava koheren maupun selaku bagian bahan klastika,
  • Komposisi senantiasa mengandung gelas gunungapi; kristal yang terbentuk pada umumnya memberikan tekstur dan struktur pendinginan magma sungguh cepat; bagian fragmen batuan pada umumnya terdiri dari fragmen batuan beku (luar), seperti basal, andesit, dasit atau riolit. Namun demikian tidak menutup kemungkinan terdapat fragmen batuan samping dan batuan dasar yang ikut terlontar keluar selaku materi komplemen dan accidental material.
Warna batuan gunungapi sangat beragam terpengaruh oleh komposisi kimia dan mineral penyusunnya, mulai dari warna gelap lazimnya untuk batuan berkomposisi basa, debu-bubuk untuk batuan berkomposisi menengah dan warna jelas untuk batuan berkomposisi asam.

Mengenai struktur batuan gunungapi, untuk lava koheren dan fragmen batuan mengikuti aturan-aturan yang berlaku di dalam batuan beku, mirip halnya struktur masif, berlubang/berongga (vesicles), segregasi, konsentris, aliran dan rekahan radier yang merefleksikan proses pendinginan.

Pembentukan struktur di dalam endapan/batuan bertekstur klastika (misalnya piroklastika dan epiklastika) lebih mengikuti hukum batuan sedimen (proses pengendapan), contohnya struktur perlapisan/laminasi, silang-siur, perlapisan pilihan, melensa, membaji, antidunes dan lain-lain. Itulah sebabnya batuan gunungapi seharusnya tidak dipaksakan untuk masuk jenis batuan beku atau batuan sedimen, namun lebih baik dipandang sebagai golongan tersendiri yang berada di kawasan transisi antara kedua jenis batuan utama tersebut.

Penamaan Batuan Gunungapi Secara Deskripsi

Telah disinggung di atas bahwa secara proses volkanisme dan sekaligus secara fisik batuan gunungapi dibagi menjadi 2 kalangan besar, yakni lava koheren (coherent lavas) dan batuan klastika gunungapi (volcaniclastic rocks). Lava koheren pada hakekatnya adalah batuan beku (masif), yakni magma yang membeku di erat permukaan (batuan beku intrusi dangkal) dan magma yang membeku di permukaan (batuan beku luar). Batuan klastika gunungapi yaitu seluruh batuan gunungapi yang mempunyai tekstur klastika atau yang tersusun oleh bahan butiran asal kegiatan gunungapi.

Lava Koheren Secara Deskripsi

Dalam melakukan deskripsi dan penamaan secara deskripsi terhadap lava koheren kita mengacu pada dasar-dasar petrologi batuan beku (luar) dimana parameter pokok deskripsi adalah warna, tekstur, struktur dan komposisi. Klasifikasi penamaan batuan, baik secara megaskopis maupun secara mikroskopis didasarkan pada klasifikasi yang telah dibuat oleh banyak andal dan dipublikasikan dalam banyak sekali literatur petrologi batuan beku luar (misal Williams dkk., 1953, Streckeisen, 1980).

Hanya disini perlu diingat bahwa dalam lingkup volkanologi, nama batuan gunungapi ini tidak terbatas untuk batuan beku luar saja, namun mampu dipraktekkan pada batuan beku intrusi dangkal, dan dalam beberapa hal untuk batuan klastika gunungapi. Dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa batuan beku luar ialah ialah bagian dari lava koheren batuan gunungapi.

Warna lava koheren sangat terpengaruh oleh komposisi batuan gunungapi itu, sedangkan tekstur dan struktur, mulai dari yang berkomposisi basa hingga dengan yang berkomposisi asam sangat dipengaruhi oleh proses pendinginan dari magma pembentuknya seperti yang telah disampaikan di atas.

Sebagaimana halnya warna batuan gunungapi kebanyakan, maka warna lava koheren juga sungguh beragam terpengaruh oleh komposisi kimia dan mineral penyusunnya, mulai dari warna gelap lazimnya untuk batuan berkomposisi basa, abu-abu untuk batuan berkomposisi menengah dan warna terang untuk batuan berkomposisi asam. Batuan gunungapi berkomposisi basa tersusun oleh mineral kaya Fe-Mg (olivin dan piroksen) serta plagioklas kaya Ca (bitownit dan anortit).

Di dalam batuan gunungapi berkomposisi menengah asosiasi mineral penyusunnya yakni piroksen, amfibol (hornblende), plagioklas menengah (andesin dan labradorit) serta sedikit alkali felspar dan kuarsa. Sedangkan mineral penyusun batuan gunungapi berkomposisi asam yakni hornblende, biotit, muskovit, plagioklas asam (albit dan oligoklas), alkali felspar dan kuarsa. Tabel 1 di bawah ini memberikan deskripsi dan penamaan lava koheren secara megaskopis.

Berdasarkan komposisi kimia, dalam hal ini persentase berat oksida silika (SiO2) lava koheren dapat diklasifikasikan menjadi basal, andesit basal (basaltic andesite), andesit, dasit dan riolit mirip tersebut pada Tabel 2. Berdasarkan persentase berat SiO2 versus K2O (Peccerillo & Taylor, 1976; Ewart, 1982), batuan tersebut dibagi menjadi batuan toleiit (miskin/rendah kalium), batuan Calc-alkaline (kalium menengah) dan batuan alkalin (alkali tinggi).

Untuk gunungapi yang berhubungan dengan zona penunjaman kerak bumi, batuan toleiit biasanya terdapat di busur magma bab depan (akrab dengan zona penunjaman), batuan Calc-alkaline di bab tengah dan batuan alkalin di bagian belakang. Dalam mengklasifikasikan nama batuan berdasar komposisi sebagian hebat tidak cuma memakai persentase berat kalium oksida namun menggunakan total persentase berat alkali (Na2O + K2O) versus SiO2 (e.g. Cox dkk., 1978; Le Bas dkk.., 1986).

Untuk menamakan batuan berdasar komposisi kimia secara tepat dibutuhkan beberapa persyaratan sebelumnya. Pertama batuan yang hendak dianalisis secara kimia mesti sungguh-sungguh segar, dalam arti tidak lapuk, tidak teroksidasi dan tidak teralterasi. Hal itu nantinya terlihat pada sedikit atau banyaknya materi habis dibakar serta bahan volatil yang terkandung serta jumlah total persentase.

Semakin sedikit persentase bahan habis dibakar (loss on ignition) dan materi volatil dengan jumlah total mendekati 100 % (? 1,5 %) serta masing-masing persentase oksida mayor secara geologi telah wajar maka hal itu memberikan acuan batuan cukup segar serta kesudahannya mampu digunakan untuk analisis lebih lanjut (Tabel 3). Hasil analisis kimia tersebut kemudian dinormalisir ke 100 % tanpa mengikut-sertakan bahan habis dibakar dan volatil sebelum dimasukkan ke dalam pembagian terstruktur mengenai (Tabel 4 & 5).

Tabel 1. Klasifikasi nama lava koheren secara deskripsi megaskopis.

Tabel 2. Klasifikasi penamaan batuan koheren lava berdasar persentase berat SiO2.

Tabel 3. Komposisi kimia oksida mayor batuan beku. LOI = loss on ignition (habis dibakar). Fe2O3* = total oksida besi (FeO + Fe2O3).

Tabel 4. Komposisi kimia oksida mayor batuan beku sesudah dinormalisisr 100 % tanpa volatil dan LOI.

Tabel 5. Komposisi kimia oksida mayor obsidian dan pumis (batuapung) setelah dinormalisir 100 % tanpa volatil dan LOI.

Batuan Klastika Gunungapi Secara Deskripsi

Di bawah ini dicantumkan beberapa definisi dari batuan klastika gunungapi atau volcaniclastic rocks.
  1. The entire spectrum of clastic materials composed in part or entirely of volcanic fragments, formed by any particle-forming mechanism (e.g. pyroclastic, epiclastic, autoclastic), transported by any mechanism, deposited in any physiographic environment or mixed with any non volcanic fragment types in any proportion (Fisher, 1961; Fisher, 1966; Fisher & Smith, 1991).
  2. All fragmental volcanic rocks that result from any mechanism of fragmentation (Pettijohn, 1975; Walker & James, 1992).
  3. A clastic rock containing volcanic material in whatever proportion, and without regard to its origin (Mathisen & McPherson, 1991).

Berdasarkan pertimbangan para jago tersebut maka dapat dinyatakan bahwa batuan klastika gunungapi adalah batuan gunungapi yang bertekstur klastika. Secara deskripsi, utamanya tekstur (bentuk dan ukuran butir), batuan klastika gunungapi dapat berupa breksi gunungapi (volcanic breccias), konglomerat gunungapi (volcanic conglomerate), batupasir gunungapi (volcanic sandstones), batulanau gunungapi (volcanic siltstones) dan batulempung gunungapi (volcanic claystones).

Perlu ditegaskan di sini bahwa penggunaan kata ‘pasir’, ‘lanau’ dan ‘lempung’ hanyalah memberikan ukuran butir, tidak secara langsung merefleksikan sebagai batuan sedimen epiklastika. Nama-nama tersebut dapat ditambah dengan parameter warna, struktur dan atau komposisi tergantung aspek mana yang menonjol dan gampang dimengerti. Sebagai contoh, jika fragmen di dalam breksi gunungapi didominasi oleh andesit dan tidak berstruktur (masif), batuan itu mampu saja dinamakan breksi andesit masif. Jika di dalam batupasir gunungapi yang sangat menonjol ialah struktur berlapis, batuan itu mampu dinamakan batupasir gunungapi berlapis (bedded volcanic sandstones).

Penamaan Batuan Gunungapi Secara Genesa

Telah disampaikan di atas bahwa secara proses volkanisme, batuan gunungapi dibagi menjadi dua kalangan besar, ialah lava koheren dan batuan klastika gunungapi. Berdasarkan pengalaman para jago dalam memperhatikan pribadi acara gunungapi, maka klarifikasi disini akan dimulai dari proses dan nama lalu dibarengi dengan deskripsi ciri-ciri litologinya. Namun dalam pembelajaran batuan gunungapi tua dimana prosesnya sudah tidak dapat dilihat langsung, kita hendaknya mengawali dengan melakukan deskripsi ciri-ciri litologi selengkap-lengkapnya, lalu menginterpretasikan proses yang terjadi dan terakhir menawarkan nama batuan gunungapi secara genesa.

Lava Koheren Secara Genesa

Lava koheren dapat terbentuk sebagai balasan pergerakan magma ke luar ke permukaan bumi. Dalam pergerakan tersebut magma dapat benar-benar keluar ke permukaan bumi secara meleleh (effusive eruptions), atau membeku di erat permukaan, atau sebagian membeku di bawah dan sebagian lagi membeku di permukaan bumi.

Magma yang membeku di bersahabat permukaan diketahui sebagai batuan beku intrusi dangkal. Padanan kata batuan beku intrusi dangkal ini banyak sekali, antara lain batuan intrusi sub-gunungapi, batuan semi gunungapi, subvolcanic intrusions, high level intrusives, shallow intrusions, low level intrusions, syn-volcanic intrusions, dll.

Mengenai kedangkalan dari pembekuan magma ini belum ada angka kedalaman yang pasti, namun diperkirakan tidak lebih dari 10 km di bawah kawah/kaldera gunungapi. Sebagai acuan kedalaman dapur magma dangkal G. Merapi cuma 1 km di bawah puncak sedangkan dapur magma dalam berkisar antara 3 - 4 km di bawah puncak. Siebett (1988) menuturkan bahwa badan intrusi di bawah gunungapi komposit dan berasosiasi dengan lapangan geothermal memiliki kedalaman 8 - 9 km.

Pembekuan magma di bersahabat permukaan ini dimungkinkan alasannya pertama, magma telah membeku terlebih dulu sebelum pergerakannya mencapai ke permukaan bumi. Kedua, tidak semua magma keluar ke permukaan bumi ketika gunungapi bererupsi atau meletus, tetapi juga tidak kembali ke dapurnya jauh di dalam bumi sesudah erupsi gunungapi berhenti. Sebagian magma itu tersisa dan membeku di sepanjang perjalanan dari dapur magma ke permukaan bumi yang dalam hal ini yakni kawah/kaldera gunungapi. Kelompok batuan sub-gunungapi ini antara lain membentuk retas (dikes), sill atau kubah lava bawah permukaan (cryptodomes).

Magma yang membeku di pipa kepundan sehingga bagian atasnya menyembul ke permukaan sedang bab bawahnya berada di bawah permukaan disebut leher gunungapi (volcanic necks) atau sumbat lava (lava plugs). Pada literatur usang berbahasa Indonesia retas ini disebut batuan gang dan leher gunungapi disebut batuan korok. Seluruh batuan beku intrusi dangkal disebut sebagai hypabyssal rocks. Batuan terobosan dangkal ini tersingkap di dalam atau pada dinding kawah/kaldera gunungapi atau pada daerah batuan gunungapi yang sudah tererosi cukup lanjut.

Berhubung sebagai batuan beku terobosan (sekalipun dangkal), maka ciri-ciri litologi yang sangat penting adalah bagaimana bentuk geometrinya, bagaimana kenampakan kontaknya dengan batuan samping atau yang diterobos, bagaimana warna, tekstur, struktur dan komposisi, serta ciri-ciri rinci khusus atau pendukung lainnya.

Bentuk geometri mungkin dapat diamati berdasar penginderaan jauh dan peta rupa bumi, namun kenampakan kontak dengan batuan samping mutlak harus ditunjukkan berdasar data singkapan pribadi di lapangan yang secara lebih rinci dapat dibantu dengan analisis secara mikroskopik dan bila perlu secara kimia. Secara deskripsi di bawah ini dijelaskan beberapa bentuk badan intrusi dangkal sebagai bagian dari lava koheren batuan gunungapi.
Retas dicirikan, antara lain:
  1. Bentuk terobosan berbentukbidang memanjang (tabular in shape) serta memotong perlapisan batuan yang diterobosnya.
  2. Efek kontak di kedua segi retas kepada batuan yang diterobos mungkin mengalami efek bakar, atau bagian tepi retas yang mengalami oksidasi, keduanya umumnya berwarna merah coklat atau merah bata, sungguh tergantung tingginya temperatur magma dikala menerobos, jenis batuan yang diterobos dan oksigen yang dikandungnya.
  3. Dari bagian tengah menuju ke tepi retas secara berangsur makin bertekstur gelas. Hal ini akan semakin konkret pada badan retas yang cukup tebal. Pada kontak dapat pula terbentuk breksi sebagai balasan pendinginan sangat cepat sehingga mengakibatkan perekahan yang kemudian terisi oleh cairan magma dari bagian tengah retas, atau masuknya batuan samping ke dalam cairan magma retas.
  4. Terdapat struktur paralel secara vertikal di bagian tepi badan retas sebagai akibat segregasi dan tingkat kristalisasi yang berbeda selama pendinginan, di mana bab tepi/luar lebih singkat mendingin daripada bab dalam. Struktur kekar yang memangkas tegak lurus retas lazimnya juga dapat dijumpai. Bila magma mengandung banyak gas, atau menerobos batuan karbonat, mungkin terbentuk struktur lubang berbentuk elip yang menunjukkan ajaran ke atas. Struktur ajaran dapat pula ditunjukkan oleh penjajaran feokris atau bentuk struktur fatwa yang lain.
  5. Komposisi retas bab tengah lebih banyak kristal, sedang ke arah tepi kian banyak gelas gunungapi. Alterasi dan mineralisasi mungkin mampu terjadi di bab tepi dari retas tersebut.

Sill atau kubah lava bawah permukaan dicirikan antara lain oleh:
  1. Bentuk terobosan pipih atau cembung menyisip secara selaras (concordant) di antara perlapisan batuan. Bentuk itu sungguh tergantung kesanggupan magma mendesak perlapisan batuan di sekitarnya. Apabila berupa cembung menjadikan perlapisan batuan di atasnya terlipat ke atas mirip struktur antiklin. Jika hal ini terjadi sungguh erat dengan permukaan dan di lereng kerucut gunungapi maka bab itu akan mengalami penggembungan (bulging). Namun dalam beberapa hal bentuk intrusi dangkal ini bisa saja tidak beraturan.
  2. Efek kontak mirip seperti yang terjadi pada retas, hanya letaknya ada di bawah atau di atas tubuh sill.
  3. Semakin ke bab tepi tubuh sill kian bertekstur halus atau gelas dan di beberapa bagian membentuk breksi (autoklastika).
  4. Struktur segregasi berupa konsentris atau kelopak atau struktur kulit bawang. Struktur rekahan mungkin ditemui di bagian permukaan dengan contoh radier.
  5. Tingkat kristalinitas makin tinggi menuju ke bagian tengah badan sill. Dengan kata lain komposisi gelas kian banyak menuju ke tepi badan sill.

Leher gunungapi dan sumbat lava dicirikan antara lain oleh:
  1. Bentuk terobosan mirip pipa, kedudukan memotong (discordant) bidang perlapisan batuan di sekelilingnya.
  2. Efek kontak terhadap batuan di sekitarnya terjadi di sekeliling tubuh terobosan.
  3. Ke arah bagian tepi tubuh kian bertekstur gelas atau membentuk breksi (autoklastika).
  4. Struktur segregasi berarah paralel vertikal pada pandangan dari samping, tetapi menjadi konsentris pada pandangan dari atas. Struktur lubang dijumpai, khususnya di bab atas badan intrusi.
  5. Secara biasa , komposisi banyak tersusun oleh gelas karena ukurannya yang relatif kecil.
  6. Berhubung terjadi dekat di bawah atau bahkan di dalam kawah gunungapi, biasanya batuan di sekitarnya sudah mengalami alterasi hidrotermal.

Bentuk-bentuk lava koheren yang benar-benar keluar ke permukaan bumi dapat berupa kubah lava (lava domes) atau anutan lava (lava flows). Kubah lava terbentuk jika lava relatif kental sehingga begitu keluar ke permukaan segera membeku dan menumpuk langsung di atas lubang kepundan membentuk kubah.

Kubah lava ini ke bawahnya mampu berhubungan dengan leher gunungapi atau retas. Perbedaan antara sumbat lava dengan kubah lava cuma pada bentuk, yang pertama berupa sumbat sedang yang kedua berbentuk kubah. Ukuran sumbat senantiasa lebih kecil dari kubah lava.

Ciri-ciri kubah lava antara lain:
  1. Bentuk ideal seperti kubah (setengah bola membundar ke atas), walaupun kenyataannya mampu tidak terorganisir, tetapi yang penting menumpuk di dalam kawah gunungapi.
  2. Efek kontak cuma terjadi dengan batuan yang ditindih (di bawahnya) yang lazimnya telah teralterasi alasannya berada di dalam kawah/kaldera gunungapi.
  3. Tekstur batuan makin kristalin ke bagian tengah tubuh kubah. Pada bab permukaan, tepi dan dasar kubah mampu terjadi breksiasi karena pendinginan yang sangat cepat (breksi autoklastika).
  4. Pada bab permukaan kubah ditemui struktur lubang dan rekahan yang berpola radier menjauhi sentra kubah. Pada bagian tengah kubah terbentuk fatwa dan struktur kelopak (kulit bawang).
  5. Bila belum tererosi, pada permukaan kubah yang terbentuk di dasar bahari (dalam) terbentuk kerak kaca (glassy crust) dan atau hyaloclastite.

Hyaloclastite berasal dari kata ‘hyaline’ (gelas) dan ‘clast’ (butiran/fragmen). Mengacu pendapat McPhie dkk. (1993), hyaloclastite (hialoklastit ?) bermakna memiliki pengertian: Clastic aggregates formed by non-explosive fracturing and disintegration of quenched lavas and intrusions that are extruded under (sea) water (bahan klastika yang terbentuk oleh disintegrasi dan perekahan non letusan alasannya pendinginan yang sungguh cepat pada lava dan intrusi di dasar air (bahari). Istilah ini digunakan baik untuk materi yang masih lepas-lepas maupun sudah membatu. Dengan demikian hyaloclastite yaitu batuan klastika gunungapi yang seluruh unsur penyusunnya berisikan butiran gelas.

Secara genesa hyaloclastite terbentuk sebagai hasil erupsi gunungapi lelehan (non eksplosif) di dalam air (laut dalam), akibatnya terjadi pendinginan yang sungguh cepat dan fragmentasi sehingga mineral tidak sempat mengkristal. Secara tekstur hyaloclastites dapat berbentukbreksi gunungapi atau batupasir gunungapi berkomposisi gelas.

Aliran lava mempunyai tipe beragam, yakni pedoman lava bongkah (blocky lava flows), aliran lava aa’, pemikiran lava pahoe-hoe dan fatwa lava bantal. Aliran lava bongkah ialah yang paling biasa di Indonesia dimana lavanya relatif kental berkomposisi basa, menengah hingga asam. Aliran lava aa’ dan pahoe-hoe khas terdapat di Hawaii dimana selalu berkomposisi basal dan encer. Aliran lava bantal mencirikan pemikiran lava yang terbentuk di lingkungan air (bahari dalam) dan es, biasanya berkomposisi basal.

Aliran lava bongkah dicirikan antara lain oleh:
  • Berbentuk materi pedoman, memanjang atau seperti kipas, tergantung bentuk bentang alam permulaan yang dilaluinya. Bentuk memanjang sempit biasanya terjadi kalau lava mengalir di lembah sungai, sedang bentuk kipas jika melalui bentang alam relatif datar. Dari bentuk geometri ini sering juga nampak struktur pedoman.
  • Efek kontak cuma terjadi pada batuan yang ditindihnya, mampu berupa imbas bakar atau oksidasi.
  • Tekstur permukaan sungguh agresif, berbongkah-bongkah dengan diameter meraih 3 – 5 m, ke bawah membreksi sedang di bab tengah badan lava berbentukbatuan beku masif. Mendekati dasar anutan batuan beku ini kembali membreksi dan berbongkah tetapi ukurannya lebih kecil dari yang ada di permukaan.
  • Bagian atas membentuk struktur berlubang, kian encer dan basa bentuk lubang menyerupai elip yang berkhasiat untuk menunjukkan arah fatwa. Apabila aliran lava cukup tebal, di bab tengah dapat terbentuk kekar kolom, sedang di bab bawah membentuk kekar lembar. Pada batuan gunungapi bau tanah dimana bagian permukaan fatwa lava sudah mengalami abrasi, maka kenali imbas kontak, tekstur dan struktur di bagian bawah menjadi sangat penting.

Aliran lava bantal dicirikan antara lain oleh:
  • Bentuk memanjang agak membulat, seperti bantal guling atau sosis, sekaligus menunjukkan struktur aliran.
  • Di bab permukaan tubuh aliran terdapat kulit kaca (glassy skin), sedang ke arah tengah bertambah banyak kristal, atau paling tidak bertekstur afanit.
  • Struktur rekahan dan aliran (ropy wrinkle) terdapat dipermukaan, sedang dari penampang terlihat struktur konsentris dan rekahan radier.
  • Batuan biasanya berkomposisi basal, mungkin berasosiasi dengan hyaloclastites.

Batuan Klastika Gunungapi Secara Genesa

Berdasarkan asal-seruan proses fragmentasinya, genesa batuan klastika gunungapi dibagi menjadi 4 golongan, adalah: batuan beku autoklastika, batuan piroklastika, batuan kataklastika dan batuan epiklastika.

Batuan beku autoklastika (breksi autoklastika, autoclastic breccias), yaitu lava koheren yang sebab pendinginan sangat cepat dan bersentuhan dengan batuan dasar atau batuan samping yang hambar terjadi fragmentasi secara otomatis di bagian tepi atau luar dari badan magma/lava tersebut, baik sebagai intrusi dangkal maupun batuan beku luar. Berhubung yang sering dijumpai yakni fragmentasi berskala garang dan berupa meruncing maka batuannya disebut breksi autoklastika. Ciri-ciri batuan ini bertekstur klastika namun komposisi fragmen dan matriks relatif homogen, berupa batuan beku berasal dari magma yang serupa.

Batuan piroklastika, yaitu batuan gunungapi bertekstur klastika selaku hasil letusan gunungapi dan langsung dari magma pijar. Sebanding dengan batuan piroklastika yakni batuan hidroklastika, yakni batuan gunungapi bertekstur klastika selaku hasil letusan uap air (letusan freatik, hidrotermal) yang membongkar batuan tua di atasnya. Uap air berasal dari air bawah tanah bercampur dengan air magma yang terpancarkan, namun dalam hal-hal tertentu uap air itu berasal dari air permukaan (air hujan, sungai, danau, es atau air maritim). Dalam hal ini materi padat atau cair dari magma tidak ikut terlontarkan. Letusan transisi diantara letusan magmatik dengan letusan freatik yaitu letusan freatomagmatik.

Berdasarkan proses pembentukannya batuan piroklastika maupun hidroklastika mampu dibagi menjadi bahan jatuhan (pyroclastic falls), pedoman (pyroclastic flows) dan seruakan piroklastika (pyroclastic surges). Pada dikala ini diketahui pyroclastic density current yang ialah adonan antara pyroclastic flows dan pyroclastic surges. Deskripsi ciri-ciri batuan piroklastika ini mampu dilihat pada Tabel 6, 7 dan 8.

Batuan jatuhan piroklastika (kadang kala disebut batuan piroklastika jatuhan) yakni batuan piroklastika yang jatuh atau mengendap menurut gaya beratnya sendiri atau secara gravitasi. Padanan katanya antara lain tefra, pyroclastic ashfall deposits atau pyroclastic fallout deposits (untuk materi berbutir abu), dan pyroclastic free fall deposits. Cas & Wright (1987) mendefinisikan pemikiran piroklastika sebagai ‘a hot, variably fluidised, gas-rich particle concentration mass-flow of pyroclastic debris’ (fatwa bahan piroklas yang panas, banyak mengandung gas dan sebagian mengalami pelelehan).

Di Indonesia pemikiran piroklastika ini lebih diketahui dengan istilah awan panas. Sebagai padanan katanya aneka macam, misalnya block and ash flow deposits, ashflow deposits, glowing avalanche deposits, pumice flow deposits, nuee ardante dan ignimbrites. Berhubung temperatur anutan piroklastika ini sangat tinggi (500 – 700 oC) ada bagian yang mengalami pelelehan kembali yang sehabis membatu kenampakannya mirip terlaskan, sangat keras dan batuannya sering disebut welded ignimbrite atau welded tuff.

Seruakan piroklastika yakni piroklas yang mekanisme transportasinya secara dihembuskan, disemburkan atau menyeruak secara lateral. Cas & Wright (1987) menyebutnya sebagai a surge transports pyroclast along the surface as expanded turbulence, low particle concentration gas solid dispersion (sebuah seruakan yang memuat piroklas sepanjang permukaan sebagai kelanjutan dari metode turbulen, mengandung partikel rendah dan merupakan dispersi gas dengan bahan padat).

Tabel 6. Ciri-ciri endapan jatuhan piroklastika. Karakter ini sungguh tergantung pada besarnya letusan, pergantian “style” dari letusan pada sebuah erupsi, dan jarak dari sumber. Daftar kenampakan di bawah ini umumnya dapat dipakai sekalipun ada yang timbul cuma pada tipe erupsi tertentu.

Tabel 7. Ciri-ciri endapan pedoman piroklastika. Karakter ini sangat tergantung pada besarnya letusan, perubahan mekanisme (style) dari letusan pada sebuah erupsi, dan jarak dari sumber. Daftar kenampakan di bawah ini umumnya dapat digunakan sekalipun ada yang muncul cuma pada tipe erupsi tertentu. Disarikan dari Fischer & Schmincke (1984), Cas & Wright (1987).

Tabel 8. Ciri-ciri endapan seruakan piroklastika. Karakter ini sungguh tergantung pada besarnya letusan, perubahan mekanisme (style) dari letusan pada sebuah erupsi, dan jarak dari sumber. Daftar kenampakan di bawah ini lazimnya mampu dipakai sekalipun ada yang muncul cuma pada tipe erupsi tertentu. Disarikan dari Fischer & Schmincke (1984), Cas & Wright (1987) dan pengalaman penulis.

Batuan kataklastika, yakni batuan gunungapi bertekstur klastika selaku balasan terkena proses deformasi alasannya tersesarkan atau terlongsorkan (dalam jumlah yang sungguh besar disebut mega landslides atau gigantic landslides). Guguran kubah lava yang tidak membentuk aliran piroklastika dapat juga dikelompokkan selaku batuan kataklastika sekalipun sekalanya lebih kecil.

Batuan kataklastika selaku akhir sesar sering disebut breksi sesar (untuk fraksi agresif) atau milonit (untuk fraksi halus/lempung). Longsoran besar Mount St. Helens pada Mei 1980 di USA sungguh terkenal dan menjadi tipe khas pembentukan endapan longsoran gunungapi (volcanic debris avalanches atau rock slide avalanches, Voight dkk., 1981). Endapan semacam itu di Indonesia sangat banyak, antara lain di G. Gede, G. Galunggung, G. Guntur dan G. Cireme.

Secara bentang alam, kenampakan sungguh khas adanya endapan longsoran gunungapi berbentukkaldera berupa tapal kuda terbuka ke suatu arah dan di depannya terhampar bukit-bukit endapan klastika gunungapi yang diketahui dengan sebutan hummocky topography. Bentuk bukit biasanya berbentukkerucut namun ada yang bundar telur dengan sumbu terpanjangnya berpola radier menjauhi sumber longsoran dan sejajar arah pedoman.

Bukit-bukit berskala besar terkonsentrasi di sepanjang sumbu sebaran endapan; ukurannya mengecil menuju tepi sebaran dan menjauhi sumber longsoran. Di antara perbukitan endapan longsoran gunungapi terdapat teladan anutan yang tidak saling bekerjasama, dan sering ditemui cekungan soliter atau danau terisolir. Dalam beberapa hal sumber longsoran yang semula berbentukkaldera berupa tapal kuda tidak nampak lagi sebab tertutup oleh kerucut endapan gunungapi yang lebih muda.

Singkapan endapan longsoran gunungapi berupa batuan beku berupa anutan lava, kubah, retas atau sill bercampur dengan bahan piroklastika. Bahan tersebut umumnya sudah hancur, pecah-pecah, terlipat dan tersesarkan sehingga sulit untuk dipisahkan secara litostratigrafi. Endapan longsoran itu dari satu bukit ke bukit yang lain di dekatnya tidak dapat dikorelasikan dengan serta merta. Endapan longsoran gunungapi yang terbentuk karena letusan gunungapi sering berasosiasi dengan endapan awan panas, baik jenis anutan maupun seruakan piroklastika.

Endapan longsoran gunungapi mampu berbentukbongkah (debris avalanche block) dan matriks atau era dasar (debris avalanche matrix; Ui, 1983; Glicken, 1986). Bongkah endapan longsoran gunungapi yakni fragmen berasal dari badan gunungapi yang longsor dengan ukuran sungguh bermacam-macam dari < 1 m - 280 m (Ui & Glicken, 1986).

Kenampakan matriks endapan longsoran gunungapi adalah berbentukpercampuran fragmen-fragmen yang berasal dari berbagai bab dari tubuh gunungapi. Endapan ini tidak terpilah dan tidak bestruktur, berukuran lempung hingga bongkah. Sebuah bukit mampu tersusun oleh satu atau beberapa bongkah endapan longsoran gunungapi. Sebaran bongkah endapan longsoran gunungapi terfokus di bagian tengah, sedang ke tepi dan distal menjelma matriks endapan longsoran gunungapi.

Satu bongkah endapan longsoran gunungapi mampu tersusun oleh satu jenis batuan (lava/batuan beku atau piroklastika) namun juga dapat tersusun oleh stratifikasi ajaran lava dan endapan piroklastika. Hal kedua itu menawarkan perlapisan asli (intact strata) dari badan gunungapi strato pada awalnya. Batuan pejal dan keras di dalam endapan longsoran mengalami retak-retak atau perekahan dengan intensitas yang berlainan-beda atau bahkan mengalami pergantian membentuk sesar geser, sesar naik dan sesar turun dalam sekala kecil. Struktur ini terjadi pada saat melongsor, namun untuk sesar wajar dapat pula terbentuk pada dikala sedang berhenti untuk menuju ke posisi yang mapan.

Kekar dan sesar pada matriks sering tidak menerus mengenai fragmen atau membelok di samping fragmen. Kekar dan rekahan sering masih berpasang-pasangan membentuk rekahan gergaji (jigsaw cracks or jigsaw fits) atau rekahan mosaik. Bentuk fragmen nyaris selalu meruncing. Orientasi paleomagnet untuk masing-masing fragmen di dalam satu bongkah endapan longsoran gunungapi nyaris seragam, tetapi deklinasinya berbeda-beda (Mimura, 1985 vide Ui, 1995). Hal ini menawarkan material longsoran terpecah-pecah dalam gerakan paralel dengan permukaan tanah namun mengalami tumbukan satu sama lain pada saat transportasi.

Bahan plastis, mirip perlapisan tuf, umumnya lebih terlipat dan tersesarkan dibandingkan dengan mengalami pengkekaran dan perekahan seperti pada batuan keras dan pejal. Sedimen klastika dan lapisan tanah permukaan mampu terperangkap di dalam batuan yang lebih keras pada ketika anutan membentuk retas sedimen (sediment dikes). Kedudukan jurus dan kemiringan perlapisan batuan di dalam bongkah maupun matriks endapan longsoran gunungapi tidak memberikan keteraturan dan tidak senantiasa mampu dikorelasikan.

Penulis (Bronto dkk., 1998) sudah melaporkan adanya batuan longsoran gunungapi di Pegunungan Selatan, Kabupaten Gunungkidul, dan beberapa gunungapi aktif era sekarang di Indonesia (Bronto, 2001b), antara lain di tempat G. Gede, G. Guntur, G. Galunggung dan G. Cereme di Jawa Barat, G. Sundoro dan G. Merapi di Jawa Tengah dan G. Raung di Jawa Timur.

Batuan epiklastika, yakni batuan gunungapi bertekstur klastika selaku hasil pembuatan kembali endapan/batuan gunungapi yang telah ada sebelumnya. Proses pengerjaan itu dapat mulai dari pelapukan, abrasi, transportasi dan redeposisi, atau mulai dari erosi dan transportasi bila endapannya masih lepas-lepas.

Pada hakekatnya batuan gunungapi epiklastika yang terbentuk mulai dari proses pelapukan sudah tergolong batuan sedimen silisiklastika. Sedangkan pengerjaan kembali yang tidak lewat proses pelapukan terlebih dahulu umumnya terjadi pada ketika atau secepatnya sesudah letusan gunungapi berjalan. Endapan piroklastika di lereng gunungapi sebab masih lepas-lepas, maka pada dikala hujan endapan tersebut eksklusif tererosi, terangkut dan mengendap kembali, misalnya endapan lahar.

Berdasar tekstur, struktur, komposisi dan asosiasinya endapan lahar memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
  1. Umumnya berbutir sedang (pasir) hingga bernafsu (kerakal-bongkah).
  2. Bentuk butir kasar meruncing tanggung – membulat tanggung.
  3. Dari daerah proksi (erat sumber materi) menuju kawasan distal (jauh dari sumber) butiran bergairah menghalus dan bentuknya condong menumpul/membulat.
  4. Sumbu terpanjang bongkah sejajar dengan arah anutan.
  5. Pemilahan buruk, kemas terbuka, bongkah mengambang di dalam matriks.
  6. Endapan masif/tidak membentuk struktur sedimen, kecuali kepekatannya sudah menurun sehingga membentuk hyperconcentrated flow dan aliran sungai normal.
  7. Endapan lahar mampu tersusun oleh monolitologi atau heterolitologi jikalau tercampur dengan batuan renta dari dasar/tebing sungai-sungai yang dilaluinya.
  8. Endapan lahar dapat mengandung kayu atau arang.
  9. Endapan lahar umumnya berselang-seling dengan endapan anutan piroklastika dan fatwa lava di daerah proksi, sedang di tempat distal berselang-seling dengan endapan sungai biasa (fluvial deposits).
  10. Endapan lahar berasosiasi dengan gunungapi komposit, gunungapi jamak dan kaldera letusan.
  11. Dibanding dengan endapan pedoman piroklastika, endapan lahar lebih padu, basah, berlumpur dan tekstur permukaan bom/blok gunungapi di dalamnya telah menghalus, terabrasi atau menumpul.

Penamaan Tuf Secara Deskripsi dan Genesa

Secara deskripsi, Tuf yakni batuan gunungapi bertekstur klastika, berskala butir ? pasir, tersusun oleh gelas, kristal (dari mineral pembentuk batuan beku) dan atau fragmen batuan (beku luar: basal, andesit basal, andesit, dasit atau riolit) dalam aneka macam proporsi.
a. Berdasar ukuran butir:
  1. Tuf garang, berskala butir pasir (batupasir tuf)
  2. Tuf halus, berskala butir lanau-lempung (batulanau tuf, batulempung tuf)
  3. dapat juga disebut batupasir gunungapi, batulanau gunungapi atau batulempung gunungapi, sesuai dengan ukuran butir penyusun yang secara umum dikuasai

b. Berdasar komposisi butiran:
  1. Tuf gelas (vitric tuffs)
  2. Tuf kristal (crystall tuffs)
  3. Tuf kerikil (lithic tuffs)
  4. Tuf gelas kristal (crystall vitric tuffs)
  5. Tuf kristal kerikil (lithic crystall tuffs), dll.

c. Berdasar komposisi (kimia) batuan beku:
  1. Tuf riolit (rhyolitic tuffs, SiO2 > 68 %)
  2. Tuf dasit (dacitic tuffs, SiO2: 63-68 %)
  3. Tuf andesit (andesitic tuffs, SiO2: 57-63 %)
  4. Tuf andesit basal (basaltic andesite tuffs, SiO2: 53- 57 %)
  5. Tuf basal (basaltic tuffs, SiO2: 45-53 %)

d. Berdasar komposisi dominansi pumis/batuapung atau skoria
  1. Tuf batuapung (pumiceous tuffs)
  2. Tuf skoria (scoriaceous tuffs)
Secara genesa, Tuf ialah batuan yang tersusun oleh bahan hasil kegiatan/letusan gunungapi, baik secara pribadi (primer) maupun tidak eksklusif (sekunder/reworked), berbutir halus (?? 2 mm) yang disebut bubuk atau debu gunungapi (volcanic ash/ dust).

Primer: Tuf piroklastika (hidroklastika, freatomagmatika)
  1. Tuf anutan piroklastika (pyroclastic flow tuffs, ash-flow tuffs)
  2. Tuf jatuhan piroklastika (pyroclastic free-fall tuffs, ash-fall tuffs)
  3. Tuf seruakan piroklastika (pyroclastic surge tuffs)
  4. Tuf terlaskan (welded tuffs), dapat tergolong tuf fatwa piroklastika atau tuf jatuhan piroklastika.

Sekunder :
  1. Tuf turbidit (klasik)
  2. Tuf fluviatil, dll.

Permasalahan:
Sandy tuffs, memiliki pengertian:
1. Tuf pasir
Tuf tersusun oleh bubuk gunungapi berskala butir pasir (= tuf kasar atau batupasir tuf)

2. Tuf pasiran (?)
Tuf (berkomposisi abu gunungapi) dengan materi penyusun pemanis berskala butir pasir
bahan penyusun embel-embel itu hanya disebutkan ukuran butirnya namun tidak terperinci komposisinya
rancu dengan tuf selaku bahan penyusun utama yang berskala butir pasir
jika ini dipandang secara genetik selaku pengendapan debu gunungapi yang tercampur dengan bahan non gunungapi atau minimal non piroklastika maka hal itu mesti jelas/rinci pemeriannya

Tuffaceous sandstones, memiliki pemahaman:
1. Batupasir tuf
batuan gunungapi bertekstur klastika, berskala butir pasir, tersusun oleh tuf atau bubuk gunungapi
sama dengan batupasir gunungapi (volcanic sandstones)

2. Batupasir tufan (?)
batupasir dengan materi penyusun utama batuan sedimen berbutir pasir dan materi tambahannya yaitu tuf (sedikit mengandung tuf).
komposisi bahan penyusun utamanya tidak terperinci
rancu dengan materi embel-embel berbentuktuf berangasan
kalau secara genetik yakni pengendapan materi non gunungapi atau sekurang-kurangnyanon piroklastika yang tercampur dengan bubuk gunungapi, maka harus ditunjukkan secara rinci masing-masing komponen tersebut.

Dalam penamaan sandy tuffs atau tuffaceous sandstones para ahli geologi/ sedimentologi kadang kala cuma mempertimbangkan banyak atau sedikitnya materi gelas gunungapi, pada hal secara petrologi tuf dapat saja secara secara umum dikuasai tersusun oleh gelas gunungapi (vitric tuffs), tetapi juga dapat oleh kristal (crystal tuffs) atau fragmen batuan (lithic tuffs).

Penamaan Breksi Gunungapi Secara Deskripsi dan Genesa

Secara deskripsi, breksi gunungapi adalah batuan gunungapi bertekstur klastika tersusun oleh kepingan berbentuk meruncing, berbutir kasar (? > 2 mm), biasanya tertanam di dalam matriks atau masadasar berbutir halus (?? 2 mm). Kepingan atau fragmen tersebut pada umumnya didominasi oleh batuan gunungapi, kristal pembentuk batuan beku dan atau gelas gunungapi. Bentuk cuilan mampu beraneka ragam mulai dari sungguh meruncing, meruncing sampai dengan agak meruncing atau meruncing tanggung.

Berdasarkan komposisi utama pecahan di dalamnya, breksi gunungapi mampu dijabarkan menjadi beberapa nama. Sebagai teladan:
  • Breksi andesit, penggalan penyusun utama berupa batuan beku andsesit
  • Breksi batuapung, pecahan penyusun utama berbentukbatuapung
  • Breksi skoria, penggalan penyusun utama berbentukskoria
  • Breksi obsidian, penggalan penyusun utama berupa obsidian
  • Breksi hialoklastit, pecahan penyusun utama berbentukhialoklastit (secara deskriptif sama dengan breksi obsidian)

Khusus penamaan breksi tuf, para mahir ada yang berpendapat bahwa potongan utama tersusun oleh tuf, tetapi ada juga yang menyatakan sebagai nama untuk batuan gunungapi bertekstur klastika dimana persentase materi tuf, baik sebagai fragmen maupun sebagai matriks sama atau lebih besar dibandingkan dengan fragmen yang lain.

Kebingungan sering juga dialami untuk penamaan tuf lapili, lapili tuf dan batulapili (lapillistones). Pada literatur usang (misal Pettijohn, 1975), ungkapan debu gunungapi (?? 2 mm) yang jikalau telah membatu menjadi tuf, dan lapili (?: 2 -64 mm) jika sudah membatu menjadi batulapili diperuntukkan khusus bagi batuan piroklastika. Artinya batuan itu secara primer mesti pribadi dihasilkan oleh letusan gunungapi.

Sebagai bahan yang masih berupa endapan, atau masih lepas-lepas, belum membentuk batuan, dan dihasilkan oleh kegiatan gunungapi Kuarter atau bahkan letusan gunungapi kala kini dimana gunungapinya juga masih secara gampang/terperinci mampu ditunjukkan maka untuk menyatakan sebagai bahan/endapan piroklastika tidak disangsikan lagi.

Akan namun hasil aktivitas gunungapi Tersier atau yang lebih tua yang bahannya telah membatu dan tubuh gunungapinya telah tidak terlihat secara konkret, maka untuk menyatakan secara tegas bahwa tuf itu secara primer yaitu hasil pribadi letusan gunungapi yang mengendap dan membatu secara insitu, masih dibutuhkan banyak pertimbangan selaku pendukungnya.

Dengan memperhatikan hal-hal tersebut dan untuk kepraktisan kerja khususnya di lapangan maka direkomendasikan penamaan tuf, tuf lapili, lapili tuf dan batulapili didasarkan pada pemerian saja. Namun jika data pemerian tersebut mendukung bahwa batuan gunungapi itu yaitu bahan primer piroklastika maka penamaannya mampu ditingkatkan secara genesa atau kombinasi antara deskripsi dan genesa.

Dengan demikian tuf lapili yaitu batuan klastika gunungapi yang materi penyusun khususnya adalah bubuk gunungapi (?? 2 mm) dan bahan penyusun tambahannya adalah lapili gunungapi (?: 2 -64 mm). Sebaliknya, lapili tuf yakni bila unsur berukuran lapili lebih banyak dibandingkan dengan abu gunungapi, sedangkan batulapili kalau bahan penyusun sangat didominasi oleh butiran lapili. Dalam banyak hal di lapangan batulapili sama dengan breksi gunungapi dimana fragmennya berukuran butir halus (2-64 mm).

Untuk istilah konglomerat gunungapi (volcanic conglomerates) identifikasinya lebih gampang sebab nama itu dapat diberikan kepada batuan klastika gunungapi dimana fragmennya telah berbentuk membulat karena proses pengikisan, transportasi atau proses-proses pengerjaan kembali lainnya. Dengan demikian konglomerat gunungapi secara terperinci sudah merefleksikan sebagai materi rombakan atau batuan epiklastika gunungapi atau secara sensu stricto selaku batuan sedimen bertekstur klastika yang bahannya berasal dari acara gunungapi.

Sekalipun demikian, diperlukan kehati-hatian untuk membedakannya dengan ungkapan aglomerat (aglomerates), yaitu batuan gunungapi yang secara mayoritas tersusun oleh bom gunungapi dan secara proses merupakan materi lontaran dari lubang kawah di saat terjadi letusan gunungapi. Sekalipun bentuk umumnya membulat, bom gunungapi memiliki tekstur permukaan sungguh bernafsu, membentuk struktur pendinginan mirip rekahan radier dan atau konsentris serta tersusun secara lebih banyak didominasi oleh gelas gunungapi, selaku akhir pendinginan sangat cepat sewaktu dilontarkan dari lubang kepundan ke udara atau ke dalam air.

Secara genesa, breksi gunungapi yakni batuan gunungapi yang ialah hasil fragmentasi oleh sebuah alasannya adalah sehingga menjadi serpihan-serpihan berupa meruncing dan berbutir berangasan (? ? 2 mm). Bentuk potongan bervariasi dari sungguh meruncing hingga dengan agak meruncing atau meruncing tanggung. Ukuran butir penggalan juga bermacam-macam , mulai dari sekitar 3 mm hingga dengan 3 – 5 m, atau bahkan lebih. Berdasarkan proses fragmentasinya, breksi gunungapi dibagi menjadi empat golongan, yaitu:
  • Breksi piroklastika (hidroklastika), adalah breksi yang fragmentasinya sebagai akibat letusan gunungapi, baik yang bersifat magmatik, freatik maupun freatomagmatik.
  • Breksi autoklastika, yakni breksi yang fragmentasinya sebagai balasan pembekuan magma atau lava yang sungguh cepat.
  • Breksi kataklastika, adalah breksi yang fragmentasinya selaku akhir deformasi. Proses deformasi mampu berupa longsoran tubuh/ batuan gunungapi atau batuan gunungapi yang tersesarkan. Breksi jenis kedua itu sering disebut breksi sesar.
  • Breksi epiklastika, ialah breksi yang fragmentasinya sebagai akhir proses pengerjaan kembali (oleh tenaga eksogen).

Pembagian tersebut masih dalam kalangan breksi gunungapi yang tidak berafiliasi dengan proses hidrotermal dan banyak terjadi di kawasan gunungapi, alterasi hidrotermal dan mineralisasi (primary non-hydrothermal breccias; Corbett & Leach, 1995, p. 34). Sedangkan breksi (gunungapi) yang berafiliasi dengan hidrotermal dan cebakan bijih (ore-related hydrothermal breccias) dibagi menjadi (1) Breksi hidrotermal magmatik (magmatic hydrothermal breccias), (2) Breksi freatomagmatik (phreatomagmatic breccias), dan (3) Breksi freatik (phreatic breccias).

Breksi hidrotermal magmatik dicirikan oleh masuknya bahan magma ke dalam proses breksiasi dan cairan bijih hidrotermal didominasi oleh komponen magmatik. Breksi freatik disini sebanding dengan breksi hidroklastika, yakni fragmentasinya selaku akhir letusan uap air panas (letusan hidroklastika atau letusan freatik). Sedangkan breksi freatomagmatik terbentuk selaku akibat letusan freatomagmatik. Berhubung pembagian breksi ini lebih digunakan dalam eksplorasi mineral bijih, untuk lebih rincinya pembaca direkomendasikan supaya membaca banyak buku, antara lain yang ditulis oleh Corbett & Leach (1995).

Referensi
Bronto, S., 2001a, Volkanologi, Bahan latih, Proyek Pembinaan Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat, Direkt. Pembinaan dan Pengabdian pada Masyarakat, Ditjend. Dikti, Depdiknas, Jakarta, tidak terbit.
Bronto, S., 2001b, Volcanic debris avalanches in Indonesia, Proceed. The 3rd Asian Sympos. On Engin. Geol. And the environ. (ASEGE), Yogyakarta, Sept. 3-6, 449-462.
Cas, R.A.F. and J.V. Wright, 1987, Volcanic successions, Modern and Ancient, Allen & Unwin, London, 528.
Cox, K.G., J.D. Bell & R.J. Pankhurst, 1978, The interpretation of Igneous Rocks, George Allen & Unwin, London, 450 p.
Ewart, A., 1982, The mineralogy and petrology of Tertiary – Recent orogenic volcanic rocks : with special reference to the andesite – basaltic compositional range, in R.S. Thorpe (ed.), Andesite : Orogenic Andesites and Related Rocks, John Wiley Sons Ltd., New York, ppp. 25 – 95.
Fisher, R.V., 1961, Proposed classification of volcaniclastic sediments and rocks, Geol. Soc. Amer. Bull., 72, 1409-1414.
Fisher, R.V., 1966, Rocks composed of volcanic fragments, Earth Sci. Rev., 1, 287-298.
Fisher, R.V. and H.U. Schmincke, 1984, Pyroclastic Rocks, Springer-Verlag, Berlin, 472.
Fisher, R. V. & G.A. Smith, (Eds.), 1991, Sedimentation in Volcanic Settings, SEPM (Society for Sedimentary Geology), Spec. Pub. No. 45, Tulsa, Oklahoma, USA, 257.
Glicken, H., 1986, Rockslide-debris avalanche of May 18, 1980, Mount St. Helens Volcano, Washington, PhD thesis, Univ. of California, Santa Barbara, 303.
Macdonald, G. A., 1972, Volcanoes, Prentice-Hall, Englewood Cliffs, New Jersey, 510.
Mathisen, M.E. & McPherson, J.G., 1991, Volcaniclastic deposits: Implications for hydrocarbon exploration, in: R.V. Fisher & G.A. Smith (Eds.): Sedimentation in volcanic setting, SEPM (Society for Sedimentary Geology), Spec. Pub. No. 15, Tulsa, Oklahoma, USA, 27-36.
McPhie, J., M. Doyle & R. Allen, 1993, Volcanic Textures. A guide to the interpretation of textures in volcanic rocks, Centre for Ore Deposit and Exploration Studies, Univ. Tasmania, 196.
Peccerillo, A. & S.R. Taylor, 1976, Geochemistry of Eocene calc alkaline volcanic rocks from the Kastamonu area, northern Turkey, Contr, Min. Petr., 58, 63-81.
Pettijohn, F.J., 1975, Sedimentary Rocks, 3rd ed., Harper & Row Pub., New York, 628.
Siebett, B.S., 1988, Size, depth and related structures of intrusions under stratovolcanoes and associated geothermal systems, Earth Sci. Rev., 25, 291-390.
Streckeisen, A.L., 1980, Classification and nomenclature of volcanic rocks, lamphrophyres, carbonatites and melilitic rocks, IUGS Subcommission on the systematics of Igneous Rocks, Geol. Rundch., 69, 194-207.
Ui, T., 1983, Volcanic dry avalanche deposits – Identification and comparison with non-volcanic debris stream deposits, J. Volcanol. Geotherm. Res., 22, 163-197.
Ui, T., 1995, Characterization of debris avalanches associated with volcanic activity, paper presented at the Workshop on Debris Avalanche and Debris Flow of Volcano, Science & Technology Agency, National Research Institute for Earth Scientific and Disaster Prevention, 7-11 March, Tsukuba Center Inc., Tsukuba, Japan, pp. 15-20.
Ui, T. & H. Glicken, 1986, Internal structural variations in a debris-avalanche deposit from ancestral Mount Shasta, California, USA, Bull. Volcanol., 48, 189-194.
Ui, T., H. Yammoto & K. Suzuki-Tamata, 1986, Characterization of debris avalanche deposits in Japan, J. Volcanol. Geotherm. Res., 29,231-243.
Voight, B., H. Glicken, R.J. Janda & P.M. Douglass, 1981, Catastrophic rockslide avalanche of May 18, in P.W. Lipman & D.R. Mullineaux (Eds.), The eruption of Mount St. Helens, Washington, U.S. Geol. Surv. Pap., 98, 347-377.
Walker, R.G. & N.P. James, 1992, Facies models. Response to sea level change, Geol. Assoc. Canada.
Williams, H., 1941, Calderas and their origin, Univ. California, Berkely Publ. Geol. Sci., 25, 239-346.
Williams, H. and A.R. McBirney, 1979, Volcanology, Freeman, Cooper & Co., San Francisco, 398.
Williams, H., F.J. Turner & C.M. Gilbert, 1953, Petrography. An Introduction to the Study of Rocks in Thin Sections, W.H. Freeman and Co., San Francisco, 405 p.
Sumber https://www.geologinesia.com/


EmoticonEmoticon